Sunday, October 14, 2012

Perjalanan Terakhir


   “Ini surat kecil, dariku untukmu. Bukan surat perpisahan, sayang. Ini surat pernyataan. Seperti deklarasi Presiden yang menyataan kemerdekaan Indonesia, aku nyatakan cintaku untukmu”

   Bisakah kita bicara lagi? Saling menatap satu sama lain. Memberi kode dalam bahasa tubuh, hingga akhirnya kita berakhir dengan cumbuan di ranjangmu. Ini bukan pernyataan tentang pikiran picikku. Ini pernyataan dari hati yang ingin merengkuh tubuhmu dalam keheningan. Hanya kita, berdua. Dunia milik kita, dibawah naungan Tuhan yang akhirnya mempertemukanku kepadamu. Akhir perjalananku.

   Puitis, sayang. Aku dalam krisis. Krisis kepercayaan yang kadang membuatku berakhir dalam keterpurukan. Kecuali saat kau ada, disampingku. Membelai lembut rambutku, berbicara perlahan dan lagi-lagi membisikkan ‘jangan takut, aku ada untukmu’ setiap aku menggenggam keras tanganmu. Seperti petunjuk yang membuatmu tau bahwa aku takut dengan dunia. Tidak pernah bersahabat. Dunia itu jahat.

   “Origami, sayang. Orang bilang, jika kita membuat seribu burung kertas, permintaan kita akan terwujud. Aku ingin membuat dua ribu. Permintaan pertama untuk selalu bersama mu, dan permintaan kedua agar umurku cukup panjang untuk merasakannya.”

   Tanganku mulai kaku. Aku berhenti pada lipatan ke seribu sembilan ratus tujuh. Aku terus menguatkan diri agar aku mencapai dua ribu. Meskipun aku tau kau akan selalu bersamaku. Sampai kapan? Percuma jika perjuangan tubuhku hanya sampai setengah umur mu.

   Aku benci semua hal yang sia-sia, sayang. Karena aku tau hidupku adalah penyia-nyiaan terbesar yang pernah ada. Aku benci jika harus membayangkan kebersamaan yang berakhir saat aku mulai bisa tersenyum seperti sedia kala denganmu disampingku, dan saat senyum mu tergerus air mata ketika melihatku kembali tidak berdaya. Benci sejadi-jadinya.

   Aku yakin Tuhan adil. Meskipun kadang Tuhan pelit untuk memberikanku kesembuhan, tapi Tuhan adil dengan memberikanku kekuatan untuk bangkit dalam bentuk makhluk yang selalu sempurna di mataku. Kau.

   “Kekuatanku, ada di kamu”

   Kau terus membelai rambutku saat tanganku basah dengan keringat. Saat nafasku mulai tertahan di kerongkongan. Saat tanganku tidak bisa berhenti meremas pinggiran ranjang yang keras. Kau terus membisikkan ‘bertahan’ saat aku terengah dengan sesak yang menahan oksigen untuk masuk kedalam paru-paruku.

   “Lepaskan saja jika kau tidak mampu. Aku, ikhlas.”

   Ucapan terakhir yang bisa terdengar jelas dari mulutmu, saat akhirnya aku memohon kepada Tuhan untuk ampunan dosaku. Sampai kau tidak bisa berkata apa-apa kecuali matamu yang mengatakan ‘jangan pergi’ dengan air mata yang menetes perlahan dan mengalir di pipimu hingga akhirnya jatuh di wajah pucatku.

   “Maaf sayang, ini senyum terakhir.”

   Tuhan menarik otot wajahku dan membentuk simpul kecil yang disebut senyuman. Ini kado terakhir dari Tuhan untuk makhluk sempurna yang dihadiahkan untukku. Senyuman terakhir untuk malaikat pelindung dalam wujud manusia yang selalu ada disampingku.

   “Perjalananku berakhir, sayang. Perjalananku berakhir di kamu.”