Monday, July 29, 2013

24 Jam Hampa

 ‘Pernah kamu tahu bahwa masih ada seratus cara lain untuk menunjukkan perhatianmu selain menyuruhku makan?’
‘Bukannya itu sudah cukup? Memang apa lagi yang harusnya kulakukan selain menyuruhmu makan?’

‘Banyak! Contohnya mengucapkan selamat malam, sedikit basa-basi di pagi hari, menyuruhku ke dokter atau minum obat waktu aku sakit, menelfon hanya untuk mendengar suara masing-masing, atau setidaknya, kamu ada disaat aku butuh.’
‘Hmm..’

Dia yang tidak pernah mau tahu bahwa hadirnya di sini sangat kubutuhkan. Menganggap waktu yang dia punya hanya untuk berkerja, istirahat, tidur, makan dan kembali berputar seperti tadi tanpa pernah perduli dengan manusia yang bahkan rela mengantre bersama rutinitasnya, hanya untuk disapa.

Aku kesepian.

Lebih separuh banyak waktu yang aku punya di sini hanya untuk berpikir bagaimana cara untuk membuatnya ingat bahwa aku ada. Masih mengantre di belakang, berbasa-basi dengan kegiatannya yang juga menunggu giliran untuk bisa bertemu dengannya.

Tapi giliranku tidak pernah tiba.

Pernah sekali aku berbincang, dan segera ditutup oleh waktu yang memaksa matanya untuk mengatup. Katanya, ‘lain kali lagi’ karena ia sudah mengantuk.

Aku diam.

Bagaimana dengan aku yang merelakan jam tidurku untuk menunggu? Terkantuk-kantuk mengirim pesan, agar akhirnya aku bisa mengucapkan selamat malam. Jika beruntung.

‘Kamu gak pernah bisa ngerti. Aku selalu salah.’
‘Aku iri. Aku iri sama mereka yang bisa ketemu sama kamu, karena aku gak bisa. Sebutuh apapun, sepenting apapun.’
‘Iya.’

‘Dan yang aku mau disini cuma bicara sama kamu, seenggaknya lewat pesan. Supaya aku tahu kalau kamu ada.’
‘Aku minta maaf.’

Dan aku diam, lagi. Karena tersentak dengan tiga kata yang dia ucapkan. Kata yang tidak pernah kugunakan, karena aku sibuk komplain dan memaki, merasa dikesampingkan oleh kesibukan padahal aku tidak pernah mencoba melihat dari sudut pandangnya.

Aku kalah.

‘Aku juga minta maaf.’

Tuesday, July 23, 2013

Seadanya

“Apa  yang kita bangun perlahan, mulai terbentuk sempurna. Kokoh adanya, tanpa celah, hanya kemewahan yang terdiri dari kekuranganku dan kekuranganmu. Kita bangun berdua tanpa pamrih, karena kita sudah terlebih dahulu kecewa dengan ria-nya harapan.

Masingnya kita tahu bahwa kita sudah pernah gila karena jejak yang ditinggalkan oleh sosok manusia. Jejak yang memaksa untuk kembali ditelusuri, dengan harapan sang peninggal jejak berdiri tenang di ujung langkahnya untuk menyambut kita yang tergopoh untuk meraih.

Tapi kita tidak mengejar, melainkan diam menunggu langkah lain yang menghampiri.

Dan tanpa sadar, kita berjalan semakin mendekati. Setiap langkahku menujumu, pula masing langkahmu menujuku. Setiap belok yang kulewati, mengarahkanku pada rumah baru bernamamu.

Aku bernaung pada orang asing yang membentangkan tangannya untuk menggenggamku. Kau.

Serta aku hanya bisa memayungi beranimu. Agar tidak ada hujan yang membasahi dan membuat luntur semua kuatmu. Agar kau tidak lagi dikejar masa lalu, melainkan menghampiri dan membuatnya malu karena kau sudah tidak takut.

Karena kini kau dibawah lindungan yang kuciptakan seadanya. Tidak istimewa, namun tidak biasa saja.”

Dan sekarang, duluku sudah lalu. Pernahkah kau tahu bahwa kau adalah masa depan yang kutunggu?

Tuesday, July 2, 2013

Terbang

“Kamu nangis?”
“Enggak, mata aku pipis.”

Kamu masih sempat bercanda, meskipun air matamu sudah menggambarkan sedih dari awal aku datang di bandara. Padahal tidak ada yang tahu kalau ini terakhir kalinya kita bertemu, atau bukan.

“Jangan nangis.”
“Kenapa aku gak boleh nangis? Nangis itu manusiawi. Tandanya aku masih hidup, masih ada bagian yang hidup di diri aku. Toh dari awal aku lahir, aku nangis. Kamu juga pasti nangis kan?”

Bukannya aku melarang kamu untuk menumpahkan emosi. Tapi aku takut kamu larut terlalu jauh, sangat jauh dari kamu yang dulu, sampai aku harus menanyakan kembali siapa namamu dan kemana perginya kamu yang aku tahu.

Karena nanti, kita tidak lagi merebahkan tubuh di ranjang yang sama. Kamu tidak lagi harus menunggu aku pulang untuk bisa makan karena perut kamu sudah keroncongan dari siang. Aku tidak lagi melihatmu bergumul dengan ranjang dan bersembunyi di balik selimut saat aku membuka pintu kamar. Tidak lagi.

Dan bukan tanpa alasan kamu pergi ribuan kilometer jauhnya.

Kamu pulang. Kamu kembali ke tempat yang tidak pernah menjadi asing di matamu. Kamu menjalankan kewajiban selama satu tahun untuk berubah menjadi lebih baik, untukku. Begitu kamu bilang waktu itu.

“Kalau nanti di sana kamu naksir sama orang lain, bilang ya. Supaya aku gak terlalu berharap di sini.”
“Aku sudah gak nakal lagi.”

Aku mau percaya. Tapi kamu tahu kalau aku bahkan masih merangkak untuk bisa mencapai rasa percaya pada refleksiku sendiri di cermin. Dan untuk kamu, aku taruh kata ‘coba’ di antara ‘aku’ juga ‘percaya’. Kita tidak tahu kalau suatu saat kata ‘coba’ itu menghilang, digantikan ‘memang’. Semoga saja.

“Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabarin aku kalau sudah sampai di bandara sana.”
“Handphone aku mati.”
“Kalau begitu, setelah kamu sampai rumah.”

Tadinya aku mau peluk kamu sampai akhirnya aku ingat kalau kita di tempat umum. Tempat ramai, yang selalu kamu benci. Jadi aku cuma bisa berbisik kecil tentang bagaimana aku menyayangimu, meskipun selalu kamu tanggapi dengan kata ‘kamu mabuk’.

Iya, aku mabuk. Aku mabuk karena terbiasa sama kamu.

“Dah..”

Lima menit yang lalu kamu baru saja terburu-buru pergi sambil menyeret koper dengan roda yang hampir rusak, kemudian bayangmu hilang dimakan sekumpulan orang berlalu-lalang. Dan sekarang aku tahu kenapa kamu benci keramaian.

Karena matamu menjadi sulit menemukan sosok yang selalu ingin kamu temukan.


Sayang, pesawatmu terbang.
Kini harapanku juga.