‘Kurasa aku tidak
pernah kehilangan sosok yang kusayang. Mereka selalu ada, gak pernah pergi.’
‘Beruntung sekali.’
‘Iya, mereka ada di
sini.’ Dengan wajah sok cuek, ia menunjuk-nunjuk santai dadanya.
‘Payudara?’
‘Hati, bodoh.
Mereka ada di hati.’
Ah, sejenak aku lupa kalau dia pria. Lagipula tidak kusangka
ada yang hidup di balik rusuk kopong itu.
Karena milikku
saja sudah mati sejak lama. Menolak untuk hidup lagi meskipun kupaksa,
kumarahi, kubentak, sampai akhirnya aku sendiri yang mengalah dan mengemis
untuknya kembali bangkit.
Ada alasannya.
‘Lalu?’
‘Maksudnya?’
‘Bahasanmu tentang hati agak menyindir. Aku iri.’
‘Nope, aku cuma
bicara jujur.’
Jujur atau bukan, aku tetap iri. Bagian mana yang tidak-memiliki-arti dari aku,
menemaninya hampir setiap hari saat orang tuanya hendak bercerai, terburu-buru
datang kerumahnya saat kompornya meledak sementara ia meringkuk di bawah meja
dengan phobianya terhadap apapun yang bisa meletus, dan membantunya berbohong
kepada kakek tetangga karena ia tidak mau mengaku mencuri mangga.
‘Kamu gak pernah tahu apa-apa.’
‘Tahu apa?’
Aku bisa saja tidak perduli.
Tapi aku menolak untuk tidak perduli.
‘Kamu gak perlu tahu.’
Karena aku tahu di balik keras kulit prianya, ada anak
lelaki yang ketakutan untuk tumbuh dewasa. Dengan celah yang tidak pernah ia sadari,
bahwa ia lebih rentan disakiti lalu mati, dari apapun yang pernah kutemui.
‘Terus gimana aku
bisa tahu? Tadi katanya aku gak pernah tahu apa-apa.’
Anak lelaki itu, hal paling rapuh yang buatku mati kaku, pun semua
komponen dan atribut kemanusiaanku ikut membeku.
‘Ngomong dong.’
‘Aku sayang kamu.’
‘Aku tahu.’
‘Maksudnya?’
‘Kamu gak perlu
tahu.’
Tolong jangan belajar mencintai wanita lain. Kamu belum
cukup dewasa untuk itu.