Saturday, August 31, 2013

Saji

Hari ini kusajikan sepiring rasa, beserta cangkir kecil berisi bahagia. Dihidangkan dengan garnish seadanya, kubiarkan ia terlihat sederhana.

Yang kau tidak tahu adalah bagaimana cara membuatnya. Menyatukan bermacam ornamen, imajinasi, keinginan, pula obsesi yang pada akhirnya buatmu bertanya;
“Bagaimana bisa?”

Dan tidakkah kau luput dari bahan yang biasanya ada?

Aku tidak memasukan alasan ke dalam hidangan yang kini kusajikan. Tidak perlu ‘karena’ untuk memberi dan mengasihi yang diinginkan.

Aku hanya menyajikan apa yang harusnya kusajikan, memberi yang pantasnya kuberikan, serta mengasihi tanpa perlu alasan.


Samarinda, August 31th 2013 [Surga Ikan]

Friday, August 2, 2013

Dialog

‘Kurasa aku tidak pernah kehilangan sosok yang kusayang. Mereka selalu ada, gak pernah pergi.’

‘Beruntung sekali.’

‘Iya, mereka ada di sini.’ Dengan wajah sok cuek, ia menunjuk-nunjuk santai dadanya.

‘Payudara?’

‘Hati, bodoh. Mereka ada di hati.’

Ah, sejenak aku lupa kalau dia pria. Lagipula tidak kusangka ada yang hidup di balik rusuk kopong itu.

Karena milikku saja sudah mati sejak lama. Menolak untuk hidup lagi meskipun kupaksa, kumarahi, kubentak, sampai akhirnya aku sendiri yang mengalah dan mengemis untuknya kembali bangkit.
Ada alasannya.

‘Lalu?’

‘Maksudnya?’

‘Bahasanmu tentang hati agak menyindir. Aku iri.’

‘Nope, aku cuma bicara jujur.’

Jujur atau bukan, aku tetap iri. Bagian mana yang tidak-memiliki-arti dari aku, menemaninya hampir setiap hari saat orang tuanya hendak bercerai, terburu-buru datang kerumahnya saat kompornya meledak sementara ia meringkuk di bawah meja dengan phobianya terhadap apapun yang bisa meletus, dan membantunya berbohong kepada kakek tetangga karena ia tidak mau mengaku mencuri mangga.

‘Kamu gak pernah tahu apa-apa.’

‘Tahu apa?’

Aku bisa saja tidak perduli.
Tapi aku menolak untuk tidak perduli.

‘Kamu gak perlu tahu.’

Karena aku tahu di balik keras kulit prianya, ada anak lelaki yang ketakutan untuk tumbuh dewasa.  Dengan celah yang tidak pernah ia sadari, bahwa ia lebih rentan disakiti lalu mati, dari apapun yang pernah kutemui.

‘Terus gimana aku bisa tahu? Tadi katanya aku gak pernah tahu apa-apa.’

Anak lelaki itu, hal paling rapuh yang buatku mati kaku, pun semua komponen dan atribut kemanusiaanku ikut membeku.

‘Ngomong dong.’

‘Aku sayang kamu.’

‘Aku tahu.’

‘Maksudnya?’

‘Kamu gak perlu tahu.’


Tolong jangan belajar mencintai wanita lain. Kamu belum cukup dewasa untuk itu.