‘Kau tahu, aku membencimu dengan sangat.’
Dengan gemulai, aku menyayat pipi kanannya sedikit demi
sedikit. Sengaja kulakukan semuanya perlahan agar ia dapat menikmati setiap
goresannya, setiap rasa sakit yang tidak akan pernah bisa didapatkan sendiri.
Aku baik hati.
Kubiarkan darahnya mengalir, melewati bibirnya, lalu
jatuh ke karpet, setetes demi setetes.
Lagi, menetes terus. Pemandangan yang tersaji di depan
mataku, bahkan lebih mewah dari film seharga ratusan miliar sekalipun. Jika
saja bisa kubingkai untuk kupajang di tembok kamar, dengan senang hati aku akan
bersusah payah membuat pigura paling spesial.
Dan saat aku hampir orgasme dengan apa yang kulihat, ia
mulai merengek, menangis. Memohon untuk dilepas pergi. Ah, berisik!
‘Lihat apa yang kau perbuat, anjing! Air matamu menetes
jatuh mengotori karpetku! Ternyata kau bukan cuma murahan, tapi juga tidak
sopan dan tidak tahu diri! Brengsek! Pelacur!’
Ia menangis semakin keras, gemetaran. Mungkin ia pikir,
goresan kecil yang ada di pipinya adalah puncak rasa sakit yang dapat ia
rasakan. Ia tidak pernah tahu bahwa masih banyak yang harus kuajarkan
kepadanya, tentang rasa sakit.
‘Aku belum selesai denganmu, sayang. Nanti kau bisa pergi, saat aku sudah mendapatkan yang
kuinginkan dan kau mendapatkan hadiahmu.’
Kali ini aku mulai merasa iba. Aku tidak tega melihatnya
menangis kesakitan dari luka yang kubuat di pipinya.
‘Ini, agar kau lupa dengan luka di pipimu.’
Aku mulai menggunting bibirnya, dari ujung hingga ujung
satunya. Kubuat ia tersenyum lebar, aku ingin lihat ia bahagia. Bukankah hati
yang kumiliki ini begitu tulus?
Dan bukan terima kasih yang kudapatkan, ia justru semakin
menjerit, meraung dan meronta, mencoba melarikan diri dari simpul yang
kupelajari saat aku masih menjadi anak pramuka.
‘Masih sakit? Kau sudah pernah membuat yang lebih dari
itu, padaku. Pernahkah kau merasa kasihan? Tidak.’
Kulayangkan pisau dapur yang baru saja kubeli dari toko
seberang jalan. Ujar si penjual, pisau ini dapat memotong daging yang paling
keras sekalipun. Kita lihat saja.
‘And all I want for christmas is you. All I want for christmas, is you.’
Alarm yang kusiapkan, membangunkanku dari tidur siang dengan mimpi aneh
yang tidak kusangka akan kudapatkan. Aku kebingungan.
Kuhabiskan waktu melamun di tepi ranjang, membayangkan mimpi yang masih segar. Bertanya dalam hati, apa yang akan terjadi jika aku tidak terbangun tadi. Mungkin wanita itu sudah kutikam sampai mati.
‘Pasti karena buku ini.’
Kusingkirkan novel thriller tentang balas dendam yang kubaca sebelum tidur siang. Kurasa, mulai besok aku akan membaca novel romantika percintaan. Tidak lagi-lagi.