Monday, September 9, 2013

Genang

Tenang.

Kau diam di sana, menolak pergi. Padahal kau sendiri adalah hasil dari pecahan kecil memori yang menjadi banyak, berlebih, terkumpul pada lubang yang kebetulan ada, lalu menggenang.

Semudah itu.

Menjadi sisa, bukti nyata dari apa yang terjadi sebelumnya. Tidak akan pernah bisa mengalir kecuali dilepas pergi, diberi jalan untuk mengikuti alur yang terlebih dahulu direncanakan. Kau tinggal genangan.

Wednesday, September 4, 2013

Cerita

‘Kau tahu, aku membencimu dengan sangat.’

Dengan gemulai, aku menyayat pipi kanannya sedikit demi sedikit. Sengaja kulakukan semuanya perlahan agar ia dapat menikmati setiap goresannya, setiap rasa sakit yang tidak akan pernah bisa didapatkan sendiri. Aku baik hati.

Kubiarkan darahnya mengalir, melewati bibirnya, lalu jatuh ke karpet, setetes demi setetes.

Lagi, menetes terus. Pemandangan yang tersaji di depan mataku, bahkan lebih mewah dari film seharga ratusan miliar sekalipun. Jika saja bisa kubingkai untuk kupajang di tembok kamar, dengan senang hati aku akan bersusah payah membuat pigura paling spesial.

Dan saat aku hampir orgasme dengan apa yang kulihat, ia mulai merengek, menangis. Memohon untuk dilepas pergi. Ah, berisik!

‘Lihat apa yang kau perbuat, anjing! Air matamu menetes jatuh mengotori karpetku! Ternyata kau bukan cuma murahan, tapi juga tidak sopan dan tidak tahu diri! Brengsek! Pelacur!’

Ia menangis semakin keras, gemetaran. Mungkin ia pikir, goresan kecil yang ada di pipinya adalah puncak rasa sakit yang dapat ia rasakan. Ia tidak pernah tahu bahwa masih banyak yang harus kuajarkan kepadanya, tentang rasa sakit.

‘Aku belum selesai denganmu, sayang. Nanti kau bisa pergi, saat aku sudah mendapatkan yang kuinginkan dan kau mendapatkan hadiahmu.’

Kali ini aku mulai merasa iba. Aku tidak tega melihatnya menangis kesakitan dari luka yang kubuat di pipinya.

‘Ini, agar kau lupa dengan luka di pipimu.’

Aku mulai menggunting bibirnya, dari ujung hingga ujung satunya. Kubuat ia tersenyum lebar, aku ingin lihat ia bahagia. Bukankah hati yang kumiliki ini begitu tulus?

Dan bukan terima kasih yang kudapatkan, ia justru semakin menjerit, meraung dan meronta, mencoba melarikan diri dari simpul yang kupelajari saat aku masih menjadi anak pramuka.

‘Masih sakit? Kau sudah pernah membuat yang lebih dari itu, padaku. Pernahkah kau merasa kasihan? Tidak.’

Kulayangkan pisau dapur yang baru saja kubeli dari toko seberang jalan. Ujar si penjual, pisau ini dapat memotong daging yang paling keras sekalipun. Kita lihat saja.



‘And all I want for christmas is you. All I want for christmas, is you.’

Alarm yang kusiapkan, membangunkanku dari tidur siang dengan mimpi aneh yang tidak kusangka akan kudapatkan. Aku kebingungan.

Kuhabiskan waktu melamun di tepi ranjang, membayangkan mimpi yang masih segar. Bertanya dalam hati, apa yang akan terjadi jika aku tidak terbangun tadi. Mungkin wanita itu sudah kutikam sampai mati.

‘Pasti karena buku ini.’

Kusingkirkan novel thriller tentang balas dendam yang kubaca sebelum tidur siang. Kurasa, mulai besok aku akan membaca novel romantika percintaan. Tidak lagi-lagi.

Hujan

Aku mencium hujan. Kali ini ia turun perlahan, ketakutan.

Ada banyak keraguan dari setiap tetes yang jatuh menyentuh bumi. Mungkin masing-masing dari mereka bertanya, ‘haruskah aku ikut jatuh dan melebur, atau hanya diam memandang dari sini.’

Dan setiap bintik endapan uap yang merintik sebagai hujan, mengandung memori. Memori yang tidak akan menguap, memori yang tidak akan bisa kau lihat dengan mata telanjang, pula mikroskop tercanggih kini.

Karena hujan yang meragu untuk jatuh, sempurnanya dikemas sebagai mesin waktu.

Serta kenangan yang terkandung di dalamnya, hanya dapat kau putar melalui lensa mata yang memandang menerawang hujan. Menerawang setiap titik yang jatuh. Menerawang mendung.

Hujan mencium kerinduan. Kali ini rindunya tak sampai, terintang kejauhan.


Jatuhku untuk menemanimu.