Wednesday, December 4, 2013

Kamu.

“Jadi, bagaimana?” Kata-kata itu yang terus kudengar darimu selama lima belas menit belakangan ini. Saat kau tidak puas dengan jawaban yang kuberi, lantas kau menghentakkan kaki atau cemberut sembari mengelus perutmu yang semakin membuncit. Seperti memancing belas kasih dariku yang dari tadi bingung.

Belas kasih apa yang kau pancing? Pintu hati tidak untuk diberi umpan, melainkan harus diketuk perlahan.

“Aku bingung.”

“Kamu gak bingung. Kamu labil, tau? Apa susahnya menjawab pertanyaan? Toh aku sudah memberi pilihan. Iya, atau tidak.”

“Ini bukan ujian sekolah. Mentang-mentang kamu masih sekolah, jadi bisa seenaknya memberi pilihan ganda?”

Bukan mengulur waktu, tapi ini tentang hidup dan mati anak yang di kandungmu. Anak kita, masa depannya.

Memang salah, kau harus mengandung dan berparuh-waktu menjadi murid sekolah tinggi. Tapi yang kupikirkan sekarang ini bukan cuma tentang kau, anak kita dan sekolahmu. Melainkan hidup kita, nantinya, jika pada akhirnya aku memutuskan untuk menikahimu dan menjadikanmu separuh tulang rusukku.

“Aku takut, bingung. Aku gak punya banyak waktu untuk jawaban dari kamu yang selalu iya, nanti, mungkin, bisa jadi.”

“Aku tau. Kamu siap jadi istri?”

Lalu kau diam, melirik ke arah lain dan mengernyitkan dahi. Tatapanmu tajam, seketika kosong, disusul semburat merah di pipi dan ujung hidungmu, kemudian air mata.

Wajah itu, tanda ketidakmampuanmu.

“Aku siap.”

Sayang, aku tahu kau bohong lagi. Tidak ada yang siap menikah secara tiba-tiba. Begitu juga aku, yang hanya tahu bagaimana caranya membahagiakanmu sebagai kekasih sementara, bukan sebagai suami. Belum.


“Meskipun pada akhirnya nanti aku belum tentu bisa membahagiakanmu secara materi?”

“Aku bisa bantu kamu, itulah kenapa aku sekolah. Iya, kan? Supaya aku bisa dapat kerja yang layak, supaya aku gak jadi beban untuk kamu nantinya. Kita kerja sama, bangun pelan-pelan.”

Kali ini kau kembali dengan kata-kata pamungkasmu. Bujuk rayu dalam kalimat bijak yang harusnya gadis seumurmu tidak dapat rangkai dengan mudah.

“Iya, mungkin kita bisa.”

Aku takut salah kata. Aku takut kau mengartikannya ambigu.

Aku masih takut menikah, belum siap. Tapi sekali lagi sosokmu kadang buatku luluh, ingin mengatakan apa yang seharusnya tidak aku katakan. Buatku lupa batas yang bisa kulakukan. Buatku lupa bahwa aku di ambang.

Karena kau selalu datang dengan keyakinan baru untukku, dengan rasa percaya bahwa aku bisa sepenuhnya menjadi lebih baik untukmu.

“Jadi, bagaimana?” Masih, kau menanyakan hal yang sama setelah tiga puluh menit pertemuan. Masih menghentakkan kaki, meski kali ini hentakkan kakimu adalah tanda tidak sabar menunggu hasil dari tanya yang tertahan lima bulan, seumur janinmu.

“Aku masih boleh berpikir, kan?”