“Jadi, bagaimana?” Kata-kata itu yang terus kudengar darimu selama
lima belas menit belakangan ini. Saat kau tidak puas dengan jawaban yang
kuberi, lantas kau menghentakkan kaki atau cemberut sembari mengelus perutmu
yang semakin membuncit. Seperti memancing belas kasih dariku yang dari tadi
bingung.
Belas kasih apa yang kau pancing? Pintu hati tidak untuk diberi
umpan, melainkan harus diketuk perlahan.
“Aku bingung.”
“Kamu gak bingung. Kamu labil, tau? Apa susahnya menjawab
pertanyaan? Toh aku sudah memberi pilihan. Iya,
atau tidak.”
“Ini bukan ujian sekolah. Mentang-mentang kamu masih
sekolah, jadi bisa seenaknya memberi pilihan ganda?”
Bukan mengulur waktu, tapi ini tentang hidup dan mati anak yang di
kandungmu. Anak kita, masa depannya.
Memang salah, kau harus mengandung dan berparuh-waktu menjadi
murid sekolah tinggi. Tapi yang kupikirkan sekarang ini bukan cuma tentang kau,
anak kita dan sekolahmu. Melainkan hidup kita,
nantinya, jika pada akhirnya aku memutuskan untuk menikahimu dan menjadikanmu
separuh tulang rusukku.
“Aku takut, bingung. Aku gak punya banyak waktu untuk jawaban dari
kamu yang selalu iya, nanti, mungkin, bisa jadi.”
“Aku tau. Kamu siap jadi istri?”
Lalu kau diam, melirik ke arah lain dan mengernyitkan dahi.
Tatapanmu tajam, seketika kosong, disusul semburat merah di pipi dan ujung
hidungmu, kemudian air mata.
Wajah itu, tanda ketidakmampuanmu.
“Aku siap.”
Sayang, aku tahu kau bohong lagi. Tidak ada
yang siap menikah secara tiba-tiba. Begitu juga aku, yang hanya tahu bagaimana
caranya membahagiakanmu sebagai kekasih sementara, bukan sebagai suami. Belum.
“Meskipun pada akhirnya nanti aku belum tentu bisa
membahagiakanmu secara materi?”
“Aku bisa bantu kamu, itulah kenapa aku sekolah. Iya, kan?
Supaya aku bisa dapat kerja yang layak, supaya aku gak jadi beban untuk kamu
nantinya. Kita kerja sama, bangun pelan-pelan.”
Kali ini kau kembali dengan kata-kata pamungkasmu.
Bujuk rayu dalam kalimat bijak yang harusnya gadis seumurmu tidak dapat rangkai
dengan mudah.
“Iya, mungkin kita bisa.”
Aku takut salah kata. Aku takut kau mengartikannya ambigu.
Aku masih takut menikah, belum siap. Tapi
sekali lagi sosokmu kadang buatku luluh, ingin mengatakan apa yang seharusnya
tidak aku katakan. Buatku lupa batas yang bisa kulakukan. Buatku lupa bahwa aku
di ambang.
Karena kau selalu datang dengan keyakinan baru untukku, dengan
rasa percaya bahwa aku bisa sepenuhnya menjadi lebih baik untukmu.
“Jadi, bagaimana?” Masih, kau menanyakan hal yang sama setelah
tiga puluh menit pertemuan. Masih menghentakkan kaki, meski kali ini hentakkan
kakimu adalah tanda tidak sabar menunggu hasil dari tanya yang tertahan lima
bulan, seumur janinmu.
“Aku masih boleh berpikir, kan?”