“Suatu saat, aku
akan menerbitkan sebuah buku. Tentang bagaimana aku menemukan sebuah cinta yang
sederhana, namun sempurna.”
Ia berandai dalam hati. Duduk di pojok ruangan sebuah
kafe pinggiran kota dengan secangkir kopi panas yang menunggu untuk diseruput
sedaritadi.
Ia membayangkan betapa dirinya akan menemukan sebuah
cinta yang sederhana, namun sempurna. Tentang bagaimana ia tumbuh semakin tua
dan renta, di pelukan seorang yang masih ia cinta. Sebuah cinta yang tidak ikut
termakan waktu, namun tetap sama, seperti awal bertemu, menjalani, hingga
akhirnya sebuah cincin tanda jadi melingkar di jari manisnya, yang akan tetap
ada hingga ia mulai mengeriput dan menua.
Di benaknya, ia memotret sebuah foto perjalanan hidup
sepasang manusia. Dirinya, dan seorang pria yang jadi satu-satunya.
“Mungkin belum
sekarang, tapi nanti. Suatu saat, jari rentaku akan mengetik dengan susah
payah, menceritakan tentang bagaimana sebuah cinta bisa tetap ada dan setia
dari awal hingga mati.”
Matanya berbinar, memandang asap rokok dan uap panas dari
cangkir kopi yang seakan berdansa mengiringi musik tango yang sudah diputar
dari awal ia duduk di meja paling belakang, dengan sorotan cahaya senja yang
semakin mengoranye. Lucu memikirkan dua jenis asap yang berbeda, dapat menyatu
dan bersimfoni lembut dengan alunan lagu yang klise.
Lalu otaknya secara gamblang menyiratkan sebuah pasangan
bahagia yang sedang tertawa dan bercanda sembari memandang kerumunan dari pinggir aula tempat pernikahan. Menebar senyum pada setiap orang yang datang dan ikut merayakan penyatuan dua insan.
“Pasti.”
Kembali ia memikirkan tentang sebuah cinta yang
disempurnakan oleh ketidak-sempurnaan dua orang manusia.
Dalam hatinya, sebuah cinta tidaklah harus mewah. Cukup
sederhana, dengan kekurangan dan kelebihan masingnya yang diterima dengan
ikhlas, tanpa harus merubah sikap dan pribadi serta tetek bengek lainnya, yang
justru akan menjadikannya sempurna.
Sebuah cinta, tidak harus memberi atau memiliki benda
berharga. Karena dapat memiliki satu sama lain, saling mencintai dan menerima yang
orang lain tidak dapat cinta dan terima, sudah menjadi hal paling berharga yang
bisa dimiliki setiap manusia.
“Selamat hari
perayaan yang ke-17, sayang.”
Pipinya memerah, saat pandangnya menangkap sesosok manusia
dengan kursi roda yang memangku sebuah kue hari jadi datang menghampiri. Seorang pria
yang selalu ia cintai.
Seorang yang tidak pernah pergi, dan menerima serta
mencintai setiap hal yang diberi oleh Tuhan kepadanya.
“Hari ini ada
anak-anak yang datang dan mengejek lagi. Kata mereka aku seperti bajak laut
yang ada di film luar negeri, hanya memiliki satu kaki.”