Friday, August 2, 2013

Dialog

‘Kurasa aku tidak pernah kehilangan sosok yang kusayang. Mereka selalu ada, gak pernah pergi.’

‘Beruntung sekali.’

‘Iya, mereka ada di sini.’ Dengan wajah sok cuek, ia menunjuk-nunjuk santai dadanya.

‘Payudara?’

‘Hati, bodoh. Mereka ada di hati.’

Ah, sejenak aku lupa kalau dia pria. Lagipula tidak kusangka ada yang hidup di balik rusuk kopong itu.

Karena milikku saja sudah mati sejak lama. Menolak untuk hidup lagi meskipun kupaksa, kumarahi, kubentak, sampai akhirnya aku sendiri yang mengalah dan mengemis untuknya kembali bangkit.
Ada alasannya.

‘Lalu?’

‘Maksudnya?’

‘Bahasanmu tentang hati agak menyindir. Aku iri.’

‘Nope, aku cuma bicara jujur.’

Jujur atau bukan, aku tetap iri. Bagian mana yang tidak-memiliki-arti dari aku, menemaninya hampir setiap hari saat orang tuanya hendak bercerai, terburu-buru datang kerumahnya saat kompornya meledak sementara ia meringkuk di bawah meja dengan phobianya terhadap apapun yang bisa meletus, dan membantunya berbohong kepada kakek tetangga karena ia tidak mau mengaku mencuri mangga.

‘Kamu gak pernah tahu apa-apa.’

‘Tahu apa?’

Aku bisa saja tidak perduli.
Tapi aku menolak untuk tidak perduli.

‘Kamu gak perlu tahu.’

Karena aku tahu di balik keras kulit prianya, ada anak lelaki yang ketakutan untuk tumbuh dewasa.  Dengan celah yang tidak pernah ia sadari, bahwa ia lebih rentan disakiti lalu mati, dari apapun yang pernah kutemui.

‘Terus gimana aku bisa tahu? Tadi katanya aku gak pernah tahu apa-apa.’

Anak lelaki itu, hal paling rapuh yang buatku mati kaku, pun semua komponen dan atribut kemanusiaanku ikut membeku.

‘Ngomong dong.’

‘Aku sayang kamu.’

‘Aku tahu.’

‘Maksudnya?’

‘Kamu gak perlu tahu.’


Tolong jangan belajar mencintai wanita lain. Kamu belum cukup dewasa untuk itu.

1 comment: