Ia menunjuk bintang. Dengan lantang menegaskan bahwa
bintang itu, yang ditunjuknya, suatu saat akan jatuh mati lalu menjadi
miliknya.
Yang ia tidak tahu, bahwa telunjuknya menunjuk hampa.
Meleset ribuan kilometer jauhnya dari bintang yang diharap semula.
“Kau salah arah.”
Bintang yang diharap memang sewaktu-waktu dapat mati,
gugur padam. Tapi setelah jatuh, siapa bilang bintang jatuh tetap sebagai
utuhnya?
Sebelumnya bintang menghantam atmosfir tebal, terkikis,
bagian indahnya hancur menjadi serpihan. Dan bagian terkokoh, menjadi sisa.
Teronggok. Sia-sia.
Bintang yang sudah jatuh, tidak lagi dapat bersinar. Ia
mati, tidak untuk dimiliki.