“Selamat ulang tahun.”
Ia mengutak-atik aplikasi pesan singkat, berkali-kali
menulis kemudian menghapus kembali sebuah kalimat yang terangkai hanya dari
tiga kata. Sesak, logikanya sedari tadi asik menari bersama benak, mengajak
hati untuk berdusta; Kau sudah tidak lagi
cinta.
Harusnya tidak usah lagi berpikir tentang mengucapkan hal
yang pasti diucapkan semua orang kepadanya setiap setahun sekali. Toh, dia juga tidak perduli.
“Semoga panjang umur.”
Ah, hapus lagi, tidak perlu mendo’akan semoga panjang
umur. Ia tahu pasti bahwa dia tidak menginginkan hidup di usia uzur.
Hanya saja ia pernah,
pula masih menginginkan untuk hidup bersamanya sampai usia mulai mengatup. Sampai
usia mulai memutuskan bahwa ini saatnya hidup mereka ditutup.
“Jadilah lebih baik.”
Sebuah kalimat yang biasa diucapkan, memang. Namun kali
ini ia mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh, berharap dia bisa menjadi
lebih baik untuk dirinya sendiri meski tidak gampang.
Karena menjadi sesosok manusia yang sempurna utuhnya
secara harafiah, tidaklah mudah. Cukup berarti ungkapan. Cukup anggapan, sebuah
ucapan penggambaran.
“Jaga diri baik-baik.”
Ia sadar diri, memutuskan untuk tidak lagi hadir,
walaupun hadirnya tidak pernah sungguh-sungguh dinanti. Memutuskan untuk angkat
kaki, karena memang sepantasnya dua insan meninggalkan satu sama lain sebelum
benar-benar saling menyakiti.
“Aku cinta. Kamu.”
Ia mencoba menghapus kalimat terakhir sebelum jemarinya
refleks menekan tombol yang salah. Terkirim sudah sebuah kalimat janggal dari
orang yang ujarnya tidak lagi cinta. Dari orang yang katanya lelah, namun tidak
tahu malu mengucapkan rasa seakan hubungannya masih sebuah ‘Kita’.
Maaf.
No comments:
Post a Comment