Monday, September 10, 2012

Luka

   Bukankah luka itu sakit? Lalu kenapa kau tidak bergeming? Apakah ini semacam candu yang membuatmu ingin merasakan luka itu lagi, lagi dan lagi? Bukankah menyakitkan jika kau terluka, disembuhkan dan dilukai lagi? Lalu kenapa kau tidak mencoba untuk lari?

   Sayang, aku hanya seorang maniak. Aku perawat gila yang menyembuhkan lukamu dan menorehkan luka baru disaat luka yang lama mulai mengering. Aku tau kau mengenalku. Tapi kenapa kau terus kembali?

   Apakah darah dari luka itu sejenis zat adiktif yang membuatmu selalu kembali padaku? Beritahu aku rasanya, sayang. Aku ingin tau. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.

   Satu sisi dariku ingin membelah dadamu. Ingin mengambil jantung dan hatimu untuk kusimpan. Tapi di satu sisi, aku terus menangis. Memohon maaf dan ampun kepadamu. Meminta maaf karena semua rasa sakit yang ada. Dari kemarin, sampai sekarang.

   Bukankah senyumku indah, sayang? Senyum ini adalah obat bius yang membuatmu lupa dengan semua luka disekujur tubuhmu. Sampai akhirnya aku sadar bahwa tubuhmu mulai dingin. Kau seperti es, sayang. Tubuhmu dingin dan wajahmu pucat. Apakah kau kehabisan banyak darah?

   Benci aku, sayang. Benci aku karena obsesi ini. Benci aku karena menatapmu dengan seluruh nafsu yang membuatku ingin memotong tanganmu untuk kugenggam, mencungkil matamu untuk terus kutatap dan mengikatmu di ranjang agar aku bisa bersandar di dadamu.

   Untuk apa kau berharap pada apa yang tidak pernah bisa kau harapkan, sayang? Apa yang kau pikirkan? Apa yang kau bayangkan? Apakah kau membayangkanku duduk disampingmu, tertawa denganmu meskipun keriput mulai memakan wajah kita? Atau justru aku yang membayangkannya?

   Maaf, sayang. Aku mulai kehilangan akal sehatku. Semua yang berputar dikepalaku hanya namamu, wajahmu, senyum mu juga tawa dan candamu. Kau adiktif untukku.

   Makilah aku. Berteriaklah di depan wajahku, sayang. Tampar aku karena mengeluarkan air mata dan menangisimu. Caci aku, karena aku tidak pernah pantas untuk berada di sampingmu. Semua itu akan terasa wajar jika kau membenciku.

   Apakah kau mampu, sayang? Mampukah kau memaki di depan wajahku dan mencaci ku? Mampukah kau memaki disaat kau terluka dan membutuhkan pertolongan? Sesungguhnya semua caci yang kau lontarkan hanya alasan untuk menutupi rasa di hatimu.

   Sayang, tatap mataku. Dengarkan aku baik-baik. Camkan ini di otakmu karena aku akan memberitahu sebuah kejujuran pahit. Aku mencintaimu sayang. Dari dulu, hingga sekarang. Aku menyayangimu. Hingga nafas tak mampu kuhembuskan. Aku akan terus menyebut namamu. Meski Tuhan tak lagi ijinkan.

   Ingat aku, sayang. Ini aku yang pernah singgah dihidupmu. Aku yang pernah menggoreskan senyum diwajahmu. Aku yang mengecup keningmu dikala malam semakin gelap. Aku yang mengucap selamat pagi, saat matahari mulai melayang di langit. Ini aku yang menghapus air matamu saat kau tidak mampu membendung semua rasa di hati. Ini aku, sayang. Ingatlah namaku. Ingat semua kenangan kita yang mulai menguning, sampai waktu berhenti berputar.

No comments:

Post a Comment