“Ini surat kecil, dariku untukmu. Bukan
surat perpisahan, sayang. Ini surat pernyataan. Seperti deklarasi Presiden yang
menyataan kemerdekaan Indonesia, aku nyatakan cintaku untukmu”
Bisakah kita
bicara lagi? Saling menatap satu sama lain. Memberi kode dalam bahasa tubuh,
hingga akhirnya kita berakhir dengan cumbuan di ranjangmu. Ini bukan pernyataan
tentang pikiran picikku. Ini pernyataan dari hati yang ingin merengkuh tubuhmu
dalam keheningan. Hanya kita, berdua. Dunia milik kita, dibawah naungan Tuhan
yang akhirnya mempertemukanku kepadamu. Akhir perjalananku.
Puitis, sayang.
Aku dalam krisis. Krisis kepercayaan yang kadang membuatku berakhir dalam
keterpurukan. Kecuali saat kau ada, disampingku. Membelai lembut rambutku,
berbicara perlahan dan lagi-lagi membisikkan ‘jangan takut, aku ada untukmu’
setiap aku menggenggam keras tanganmu. Seperti petunjuk yang membuatmu tau
bahwa aku takut dengan dunia. Tidak pernah bersahabat. Dunia itu jahat.
“Origami, sayang. Orang bilang, jika kita
membuat seribu burung kertas, permintaan kita akan terwujud. Aku ingin membuat
dua ribu. Permintaan pertama untuk selalu bersama mu, dan permintaan kedua agar
umurku cukup panjang untuk merasakannya.”
Tanganku mulai kaku. Aku berhenti pada
lipatan ke seribu sembilan ratus tujuh. Aku terus menguatkan diri agar aku
mencapai dua ribu. Meskipun aku tau kau akan selalu bersamaku. Sampai kapan?
Percuma jika perjuangan tubuhku hanya sampai setengah umur mu.
Aku benci semua
hal yang sia-sia, sayang. Karena aku tau hidupku adalah penyia-nyiaan terbesar
yang pernah ada. Aku benci jika harus membayangkan kebersamaan yang berakhir
saat aku mulai bisa tersenyum seperti sedia kala denganmu disampingku, dan saat
senyum mu tergerus air mata ketika melihatku kembali tidak berdaya. Benci
sejadi-jadinya.
Aku yakin Tuhan
adil. Meskipun kadang Tuhan pelit untuk memberikanku kesembuhan, tapi Tuhan
adil dengan memberikanku kekuatan untuk bangkit dalam bentuk makhluk yang
selalu sempurna di mataku. Kau.
“Kekuatanku, ada di kamu”
Kau terus
membelai rambutku saat tanganku basah dengan keringat. Saat nafasku mulai
tertahan di kerongkongan. Saat tanganku tidak bisa berhenti meremas pinggiran
ranjang yang keras. Kau terus membisikkan ‘bertahan’ saat aku terengah dengan
sesak yang menahan oksigen untuk masuk kedalam paru-paruku.
“Lepaskan saja jika kau tidak mampu. Aku,
ikhlas.”
Ucapan terakhir
yang bisa terdengar jelas dari mulutmu, saat akhirnya aku memohon kepada Tuhan
untuk ampunan dosaku. Sampai kau tidak bisa berkata apa-apa kecuali matamu yang
mengatakan ‘jangan pergi’ dengan air mata yang menetes perlahan dan mengalir di
pipimu hingga akhirnya jatuh di wajah pucatku.
“Maaf sayang, ini senyum terakhir.”
Tuhan menarik
otot wajahku dan membentuk simpul kecil yang disebut senyuman. Ini kado
terakhir dari Tuhan untuk makhluk sempurna yang dihadiahkan untukku. Senyuman
terakhir untuk malaikat pelindung dalam wujud manusia yang selalu ada disampingku.
“Perjalananku berakhir, sayang. Perjalananku
berakhir di kamu.”
No comments:
Post a Comment