“Apa yang kita
bangun perlahan, mulai terbentuk sempurna. Kokoh adanya, tanpa celah, hanya
kemewahan yang terdiri dari kekuranganku dan kekuranganmu. Kita bangun berdua
tanpa pamrih, karena kita sudah terlebih dahulu kecewa dengan ria-nya harapan.
Masingnya kita tahu bahwa kita sudah pernah gila karena
jejak yang ditinggalkan oleh sosok manusia. Jejak yang memaksa untuk kembali
ditelusuri, dengan harapan sang peninggal jejak berdiri tenang di ujung
langkahnya untuk menyambut kita yang tergopoh untuk meraih.
Tapi kita tidak mengejar, melainkan diam menunggu langkah
lain yang menghampiri.
Dan tanpa sadar, kita berjalan semakin mendekati. Setiap
langkahku menujumu, pula masing langkahmu menujuku. Setiap belok yang kulewati,
mengarahkanku pada rumah baru bernamamu.
Aku bernaung pada orang asing yang membentangkan
tangannya untuk menggenggamku. Kau.
Serta aku hanya bisa memayungi beranimu. Agar tidak ada
hujan yang membasahi dan membuat luntur semua kuatmu. Agar kau tidak lagi
dikejar masa lalu, melainkan menghampiri dan membuatnya malu karena kau sudah
tidak takut.
Karena kini kau dibawah lindungan yang kuciptakan
seadanya. Tidak istimewa, namun tidak biasa saja.”
Dan sekarang,
duluku sudah lalu. Pernahkah kau tahu bahwa kau adalah masa depan yang
kutunggu?
selalu saja seperti ini
ReplyDelete