“Kamu nangis?”
“Enggak, mata aku pipis.”
Kamu masih sempat bercanda,
meskipun air matamu sudah menggambarkan sedih dari awal aku datang di bandara. Padahal
tidak ada yang tahu kalau ini terakhir kalinya kita bertemu, atau bukan.
“Jangan nangis.”
“Kenapa aku gak boleh nangis? Nangis itu manusiawi. Tandanya aku masih
hidup, masih ada bagian yang hidup di diri aku. Toh dari awal aku lahir, aku
nangis. Kamu juga pasti nangis kan?”
Bukannya aku melarang kamu untuk
menumpahkan emosi. Tapi aku takut kamu larut terlalu jauh, sangat jauh dari
kamu yang dulu, sampai aku harus menanyakan kembali siapa namamu dan kemana perginya
kamu yang aku tahu.
Karena nanti, kita tidak lagi
merebahkan tubuh di ranjang yang sama. Kamu tidak lagi harus menunggu aku
pulang untuk bisa makan karena perut kamu sudah keroncongan dari siang. Aku
tidak lagi melihatmu bergumul dengan ranjang dan bersembunyi di balik selimut saat
aku membuka pintu kamar. Tidak lagi.
Dan bukan tanpa alasan kamu pergi
ribuan kilometer jauhnya.
Kamu pulang. Kamu kembali ke
tempat yang tidak pernah menjadi asing di matamu. Kamu menjalankan kewajiban
selama satu tahun untuk berubah menjadi lebih baik, untukku. Begitu kamu bilang
waktu itu.
“Kalau nanti di sana kamu naksir sama orang lain, bilang ya. Supaya aku
gak terlalu berharap di sini.”
“Aku sudah gak nakal lagi.”
Aku mau percaya. Tapi kamu tahu
kalau aku bahkan masih merangkak untuk bisa mencapai rasa percaya pada refleksiku
sendiri di cermin. Dan untuk kamu, aku taruh kata ‘coba’ di antara ‘aku’ juga ‘percaya’.
Kita tidak tahu kalau suatu saat kata ‘coba’ itu menghilang, digantikan ‘memang’.
Semoga saja.
“Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabarin aku kalau sudah sampai di
bandara sana.”
“Handphone aku mati.”
“Kalau begitu, setelah kamu sampai rumah.”
Tadinya aku mau peluk kamu
sampai akhirnya aku ingat kalau kita di tempat umum. Tempat ramai, yang selalu
kamu benci. Jadi aku cuma bisa berbisik kecil tentang bagaimana aku
menyayangimu, meskipun selalu kamu tanggapi dengan kata ‘kamu mabuk’.
Iya, aku mabuk. Aku mabuk karena
terbiasa sama kamu.
“Dah..”
Lima menit yang lalu kamu baru
saja terburu-buru pergi sambil menyeret koper dengan roda yang hampir rusak,
kemudian bayangmu hilang dimakan sekumpulan orang berlalu-lalang. Dan sekarang
aku tahu kenapa kamu benci keramaian.
Karena matamu menjadi sulit menemukan sosok yang selalu ingin kamu
temukan.
“Sayang, pesawatmu terbang.
Kini harapanku juga.”
No comments:
Post a Comment