Wednesday, September 26, 2012

Rasuk

"Ini ruang waktu. Bungkam mulutku. Biarkan aku menonton tayangan masa lalu. Yang nyaris membeku."
   Hanya bisa memandang kekosongan. Hanya bisa merasakan kehampaan. Dalam hati. Dalam diam. Merasa ditinggalkan dan terpojokkan. Tetap sama. Aku tetap terjebak dalam tayangan masa lalu. Aku terjebak dalam memori yang hampir membeku. Membutakan mata dan memakan ragaku. Rapuh. Sesekali menorehkan sedikit luka besar di hati yang lebam terbanting jenuh kerinduan.
"Ini aku. Hidup dalam masa lalu. Biarkan waktu memakanku, sedikit demi sedikit. Sampai akhir menjemputku."
   Masa lalu. Ungkit jati diriku. Bongkar semua kelam dan menjawab ragu. Ini aku, masih berada dalam masa lalu. Menunggu keceriaan yang dulu. Menunggu rasa yang pernah ada untuk kembali kedalam relung yang sekarang kosong. Ambigu. Aku masih berada di masa lalu. Meskipun kau terus maju dan menjauh. Tak tersampaikan.
"Hampa. Merasuk kedalam paru. Mengosongkan oksigen, buatku tergagu. Ini jebakan masa lalu." 
   Sesak. Kenangan merajuk buatku rindu. Mereka terus datang mengganggu. Buatku nafsu untuk memeluk memori yang terduduk kaku. Sesekali membelai masa lalu. Bertanya apakah waktu akan buatku merasakan lagi. Indahnya masa lalu. Haru.
"Suaraku hilang. Perasaanku tak sampai. Suaraku tidak tersampaikan. Mengejar dan menyerukan kekosongan. Tanpa suara. Hatiku belum sampai."
    Kau dengar aku? Masih sibuk menyerukan namamu. Tanpa suara. Hanya dengan perasaan. Suaraku tidak sampai. Aku tidak bisa menggapai. Meringkuk dibalik kerumunan. Menangisi nasib yang tidak pernah bisa menyentuh Bulan. Ini aku, Pungguk.

Saturday, September 15, 2012

Darah

   Lenguhannya semakin keras. Tubuhnya berguncang di atas ranjang. Ia berkeringat. Aku mencoba untuk membungkamnya. Berusaha menahan teriakannya agar tidak didengar tetangga. "Sayang, teriaknya jangan terlalu keras. Nanti tetangga datang" bisikku mesra di telinganya. Ia semakin berontak. Nafasnya semakin berat. Kurasa aku bisa mendengar detak jantungnya sekarang berpacu dengan detak jantungku.

   Aku selesai. Aku sudah puas. Tapi dia hanya diam. Diam dengan nafas yang memburu dan keringat yang membasahi tubuhnya. Perlahan kulepas kain yang menahan mulutnya. Kubelai sedikit rambutnya. Kucium keningnya dan sekali lagi aku berbisik "aku mencintaimu" kepadanya. Dia tetap diam.

   "Kau dingin sayang. Biarkan aku menyelimutimu" Ku angkat kain yang basah. Aku menutupinya dengan selimut, berusaha memberinya waktu untuk istirahat.

   Aku duduk tidak jauh darinya. Sesekali aku meliriknya. Kadang aku menangkap basah dirinya sedang melirikku dan aku senyum semanis mungkin untuknya. Selalu kuucapkan dalam hati bahwa aku mencintainya. Selalu kuingatkan pada diriku bahwa dirinya hanya untukku begitupun denganku yang hanya dimiliki olehnya.

   Aku gerah. Aku tidak tahan harus berjauhan dengannya meskipun kami hanya berjarak beberapa meter. Kudekati tempatnya berbaring. Kusentuh tangannya. "Kau semakin dingin, sayang. Wajahmu pucat. Apakah kau sakit?" aku takut dia sakit. Aku takut dia meninggalkanku seperti cintaku yang sebelumnya. Aku takut dia 'Pergi'.

   Dia tetap diam. Perlahan kubuka selimut yang menutupi tubuhnya. Kulihat darah mengalir dari bekas jahitan yang kubuat. Aku tidak melakukan apa-apa! Aku hanya ingin mengambil hatinya dan memastikan bahwa hatinya hanya milikku. Bukan milik wanita lain yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin melukainya.

   Aku mencintainya. Ini bukan obsesi semata. Aku hanya ingin bersamanya sampai ajal menjemput. Aku hanya ingin bersandar di dadanya saat dia membelai lembut rambutku. Aku hanya ingin memeluknya dari belakang. Seperti biasa. Seperti saat-saat indah yang dilakukan setiap hari. Dan aku hanya ingin memastikan bahwa hatinya milikku. Ini bukan obsesi semata.

   Aku menyayanginya. Ini bukan obsesi semata. Aku hanya ingin dia bersamaku. Terus menggenggam tanganku sampai aku bernafas untuk terakhir kalinya. Aku hanya ingin dia mengucap do'a untukku ketika aku sudah tidak ada. Ini bukan obsesi semata. Aku tidak gila.

   Aku menginginkannya. Ini bukan obsesi semata. Aku hanya ingin dia tersenyum untukku. Bukan untuk wanita lain yang pernah singgah dihidupnya. Aku hanya ingin dia mengucap janji untuk bersamaku selamanya. Dan kami bahagia. Ini bukan obsesi semata. Aku tidak gila. Aku bukan psikopat.

   Aku membutuhkannya. Ini bukan obsesi semata. Aku ingin dia menjadi kakiku, saat aku tidak bisa berjalan. Aku ingin dia menjadi mataku, saat aku tidak bisa melihat. Aku ingin dia menjadi tanganku, saat aku tidak bisa menggenggam apapun. Aku butuh dirinya. Ini bukan obsesi semata. Aku tidak gila. Aku bukan psikopat. Aku hanya mencintainya.

Monday, September 10, 2012

Luka

   Bukankah luka itu sakit? Lalu kenapa kau tidak bergeming? Apakah ini semacam candu yang membuatmu ingin merasakan luka itu lagi, lagi dan lagi? Bukankah menyakitkan jika kau terluka, disembuhkan dan dilukai lagi? Lalu kenapa kau tidak mencoba untuk lari?

   Sayang, aku hanya seorang maniak. Aku perawat gila yang menyembuhkan lukamu dan menorehkan luka baru disaat luka yang lama mulai mengering. Aku tau kau mengenalku. Tapi kenapa kau terus kembali?

   Apakah darah dari luka itu sejenis zat adiktif yang membuatmu selalu kembali padaku? Beritahu aku rasanya, sayang. Aku ingin tau. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.

   Satu sisi dariku ingin membelah dadamu. Ingin mengambil jantung dan hatimu untuk kusimpan. Tapi di satu sisi, aku terus menangis. Memohon maaf dan ampun kepadamu. Meminta maaf karena semua rasa sakit yang ada. Dari kemarin, sampai sekarang.

   Bukankah senyumku indah, sayang? Senyum ini adalah obat bius yang membuatmu lupa dengan semua luka disekujur tubuhmu. Sampai akhirnya aku sadar bahwa tubuhmu mulai dingin. Kau seperti es, sayang. Tubuhmu dingin dan wajahmu pucat. Apakah kau kehabisan banyak darah?

   Benci aku, sayang. Benci aku karena obsesi ini. Benci aku karena menatapmu dengan seluruh nafsu yang membuatku ingin memotong tanganmu untuk kugenggam, mencungkil matamu untuk terus kutatap dan mengikatmu di ranjang agar aku bisa bersandar di dadamu.

   Untuk apa kau berharap pada apa yang tidak pernah bisa kau harapkan, sayang? Apa yang kau pikirkan? Apa yang kau bayangkan? Apakah kau membayangkanku duduk disampingmu, tertawa denganmu meskipun keriput mulai memakan wajah kita? Atau justru aku yang membayangkannya?

   Maaf, sayang. Aku mulai kehilangan akal sehatku. Semua yang berputar dikepalaku hanya namamu, wajahmu, senyum mu juga tawa dan candamu. Kau adiktif untukku.

   Makilah aku. Berteriaklah di depan wajahku, sayang. Tampar aku karena mengeluarkan air mata dan menangisimu. Caci aku, karena aku tidak pernah pantas untuk berada di sampingmu. Semua itu akan terasa wajar jika kau membenciku.

   Apakah kau mampu, sayang? Mampukah kau memaki di depan wajahku dan mencaci ku? Mampukah kau memaki disaat kau terluka dan membutuhkan pertolongan? Sesungguhnya semua caci yang kau lontarkan hanya alasan untuk menutupi rasa di hatimu.

   Sayang, tatap mataku. Dengarkan aku baik-baik. Camkan ini di otakmu karena aku akan memberitahu sebuah kejujuran pahit. Aku mencintaimu sayang. Dari dulu, hingga sekarang. Aku menyayangimu. Hingga nafas tak mampu kuhembuskan. Aku akan terus menyebut namamu. Meski Tuhan tak lagi ijinkan.

   Ingat aku, sayang. Ini aku yang pernah singgah dihidupmu. Aku yang pernah menggoreskan senyum diwajahmu. Aku yang mengecup keningmu dikala malam semakin gelap. Aku yang mengucap selamat pagi, saat matahari mulai melayang di langit. Ini aku yang menghapus air matamu saat kau tidak mampu membendung semua rasa di hati. Ini aku, sayang. Ingatlah namaku. Ingat semua kenangan kita yang mulai menguning, sampai waktu berhenti berputar.