Saturday, January 19, 2013

Hati


“Ini hati, bukan kaca. Jangan dibanting dari ketinggian. Kalau pecah dan berkeping-keping, akan susah menyatukannya”

   Ini hati, sayang. Bukan plastik daur ulang. Kau tidak bisa mendaur ulang hati yang sudah rusak. Kalaupun kau bisa memperbaikinya, hati itu tidak akan pernah kembali sempurna seperti sedia kala. Dan jangan rusak hati yang sudah penuh dengan lubang dari kelam masa lalu. Karena hati akan bingung darimana harus mulai menutup lubangnya, ketika sudah terlalu banyak lubang yang ada di hati kecil ini.

   Ini hati, bukan video game. Tidak akan pernah bisa kau restart jika sudah mati. Karena setelah mati, hati tidak akan bisa kembali seperti semula. Hati tidak akan bisa bangkit dengan sendirinya. Hati bukan video game yang bisa kau ulang berkali-kali ketika kau salah memilih jalannya.

“Hati sudah mati. Harus diapakan?”

   Sedikit bergetar. Dia kedinginan. Hati tidak dapat menahan rasa dingin yang menusuk dari semua perbuatan dan nyata yang terjadi. Hipotermia. Dia mulai kehilangan rasanya. Hati mulai kehilangan rasa percaya untuk dapat bertahan. Terbaring sekarat dengan air mata yang sudah terlebih dahulu membeku. Sekarang bagaimana hati bisa menunjukkan rasa sakitnya?

   Awalnya masih merah, namun mulai membiru dan menghitam sedikit demi sedikit. Harus diapakan? Bisakah dicat ulang agar hati ini kembali merona? Sepertinya tidak. Karena cat hanya akan menutup kesan sakit pada hati, tapi tidak menghilangkan rasa sakit di dalamnya.

“Tragis”

   Hati yang mencoba untuk bangkit dari keterpurukan, akan lebih terpuruk ketika ia melihat kau ternyata menyakitinya dari belakang. Kau ukir memori pada hati, hanya untuk membuatnya tersiksa ketika kau ternyata akan menghilang. Kau biarkan dia mengenang memori yang sudah terukir rapi, bukan dengan tawa. Tapi dengan air mata yang berlinang.

   Air mata yang mulai mencair, akhirnya tumpah. Membasahi pipi si hati yang lemah. Ia kehilangan. Kehilangan sosok yang selama ini dirasa bisa membuatnya menggapai angan.

“Lelah”

   Berjalan dengan kesakitan. Hati masih mengatakan ‘baik saja’ padahal sebagian tubuhnya mulai lumpuh, karena hati mencoba kuat. Meskipun mulai lunglai, hati tetap berjalan perlahan dengan separuh dari dirinya yang sudah menjadi bangkai. Dia berusaha menyeret satu kaki dengan kaki lainnya untuk bersembunyi. Bersembunyi dari dunia luar, karena hati masih menyayangi sisa tubuhnya yang masih bisa bertahan.

   Masih terlihat cantik. Hati masih terlihat cantik pada sebagian tubuhnya. Dia masih bisa tersenyum dengan separuh bibirnya yang sekarang mencoba bertahan hidup karena dulu terjadi kelalaian. Kelalaian atas rasa percaya yang berlebihan. Kelalaian atas mencintai yang tidak sepantasnya untuk dicintai. Kelalaian atas rasa sayang. Rasa sayang yang kini terlalu besar untuk bisa disingkirkan.

“Hati mulai bernafas dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa pada dirinya. Hati mencoba menguatkan dirinya untuk tetap bertahan. Hati memutuskan untuk belajar pada kelalaian.
Hati mulai menutup matanya. Tidak ingin melihat masa lalu yang membuatnya seperti sekarang. Karena baginya, hal buruk yang sudah terjadi bukan untuk dikenang.”

No comments:

Post a Comment