Saturday, April 27, 2013

Mereka


Ia ingat betapa ia pernah mencintai bajingan itu

Ia ingat betapa ia pernah mencintai wanita murahan itu

Mereka ingat betapa mereka pernah saling mencintai di atas sadar dan berdua memperjuangkan sia. Mereka ingat betapa mereka pernah saling membela dan mengacuhkan pahit yang sungguhnya memang ada. Saling melindungi disaat satu mulai merasa tertekan oleh rasa.

Ia sadar betapa salah ia mencintai bajingan itu

Ia sadar betapa salah ia mencintai wanita murahan itu

Mereka sadar betapa salah cinta yang mereka agungkan, yang adanya buat mereka buta. Mereka sadar betapa menyakitkannya cinta yang dulu mereka anggap penyembuh luka. Dan luka terbesar yang kini ada, justru akibat cinta yang mereka sambut dengan tangan terbuka.

Ia tahu, harusnya dulu tidak bertemu bajingan itu

Ia tahu, harusnya dulu tidak bertemu wanita murahan itu

Mereka tahu bahwa seharusnya mereka tidak saling menemukan. Mereka tahu bahwa seharusnya mereka tidak saling menyambut dan menarik masing-masing hanya untuk akhir perpisahan tanpa pelukan. Malah cacian.

Ia menyesal pernah bertekuk lutut pada bajingan itu

Ia menyesal  pernah bertekuk lutut pada wanita murahan itu

Mereka menyesal atas tindak yang dulu mereka kira sangat benar. Mereka menyesal, pernah melepas harga diri dan menjadikannya alas untuk menjembatani jalan menuju masing. Tidak ada yang tahu bahwa akhirnya akan seperti cerita dalam buku tenar. Kembali, awalnya hanya untuk bersenang lewati malam bising.

Ia mencoba untuk melupakan bajingan itu

Ia mencoba untuk melupakan wanita murahan itu

Mereka terus mencoba untuk membuang kenang. Setiap individunya bertahan menolak memori yang mengamuk dan memaksa untuk kembali dipeluk sayang. Berdua, kembali membangun tembok besar yang kini berhadapan. Hanya untuk melindungi diri, hati dan perasaan agar tidak dikontaminasi oleh keadaan.

Ia belari menjauh dari bajingan itu

Ia diam di tempat, dengan rasa yang semakin jauh dari wanita murahan itu

Sesekali mereka menoleh kebelakang


Jakarta, April 27th 2013 [Rumah Kucing]

Thursday, April 25, 2013

Entah


Iya, kita bisa mengulang lagi. Memang. Tapi apakah dengan kita mengulang segalanya dari awal, semua yang dulu sudah sempat kita rasakan juga akan kita mulai dari nol? Semua rasa dan apapun itu yang kita bangun perlahan, harus kita hancurkan untuk kemudian kita bangun kembali dengan sama terbata?

Aku ingin, jika aku mampu, untuk mengulang semua. Kembali berkenalan di linimasa dan kembali terkejut dengan bagaimana bisa kita tidak saling mengenal sejak awal, karena hampir-semua-temanku-tahu-kau juga semacamnya.

Kadang aku suka tercengang, lagi dan lagi. Tercengang karena cerita kita. Tentang bagaimana kita bertemu, berkenalan, membangun satu hubungan, berkomitmen lalu berpisah. Tentang betapa klasiknya dongeng yang kita buat. Tentang andai yang kita utarakan dengan semangat, jika suatu saat kita bertemu tatap.

Entah kita hanya sebatas roman picisan yang disiarkan selama tiga puluh hari, atau kita adalah masterpiece dari penggubah dunia. Karena aku senang, dan aku bangga.

Aku senang sudah mengenalmu meskipun kita tidak sempat bertemu. Dan aku bangga, sempat menjadi salah satu bagian penting dari dua puluh empat jam setiap harimu.

Monday, April 22, 2013

Jawab


Sama saja. Tidak ada yang berubah setelah sekian banyak hari yang dilewati tanpa kau. Bukannya tanpa kau di sampingku, tapi tanpa pemberitahuan dari aplikasi pesan singkat bahwa ada satu pesan darimu. Seperti yang kita sudah tahu dari dulu, hubungan yang kita jalani ini dengan komitmen tanpa bisa bertemu.

Mungkin disana kau masih bisa menjalani hari-hari seperti biasa. Menjadi anak kuliahan dengan kerja paruh waktu yang justru menghabiskan hampir semua waktumu. Kecuali saat malam dimana kau bisa dengan mudahnya hilir-mudik dari satu cafe ke cafe lainnya.

Bagiku, disini ada yang berubah. Tidak banyak, tapi terasa sangat nyata. Dan tidak sedikit, sehingga aku bisa merasakan perubahan yang sungguhnya tidak harus dirasakan.

Asal kau tahu, sampai sekarang masih ada satu pertanyaan yang terus menolak untuk dikesampingkan dengan pertanyaan lainnya. Pertanyaan serupa ‘apakah ada yang bisa kita lakukan untuk mengulang semuanya dari awal jika kita bisa bertemu’ masih memohon untuk kulontarkan kepadamu.

Jika suatu hari pertanyaan itu terlontar, jawaban apa yang kira-kira kau berikan? Masih bisakah kau bercanda dan menolak untuk serius dengan pertanyaan macam itu?

Karena disini aku hampir muak dengan canda yang kau berikan saat serius yang aku minta. Aku capek mengurungkan niat untuk dapat membicarakan hal serius karena akhirnya aku harus tertawa dan terpaksa untuk tertawa karena kau menjawabnya dengan lelucon aneh yang sebenarnya tidak kuharapkan sama sekali.

Theo, tidak lebih dari tiga puluh hari kita membangun satu hubungan semu. Kita tidak pernah tahu apakah nyata atau sandiwara yang kita buat. Tapi aku hanya butuh satu kalimat pasti untuk jawab pertanyaan mudah yang kuberikan. Jawablah.

Aku Donat


Hari ini panas, tapi mataharinya gak sepanas teflon di samping etalase kaca tempat aku dipajang. Disampingku masih banyak teman-teman yang menunggu untuk dibeli dan dibawa pulang oleh orang yang berbeda-beda.
Aku juga begitu. Aku masih menunggu seseorang yang datang memilihku untuk dibawa pulang dan dinikmati.

Mungkin sekarang aku sudah ada di dalam kantong kertas nyaman dan menunggu pemandangan berbeda dari orang yang membeliku, kalau bukan karena dia. Karena orang bodoh yang dengan seenaknya menolak pelanggan.
Cuma karena hal kecil seperti tulisan tidak penting yang kau tulis di plastik aneh yang katanya bernama laptop.

Entah apa yang ada dipikirannya, aku disini cuma bisa melihat.
Kalau bisa berteriak, berjalan atau apapun itu, mungkin aku akan terbang dan melayang ke dekat kupingnya. Berteriak 'jangan menolak pelanggan karena aku bosan melihat pemandangan yang itu-itu saja!'
Aku juga akan bilang 'aku ingin pergi dari kotak kaca ini dan berpergian ke tempat lain! Yang jelas tanpa aku harus melihat wajahmu lagi. Karena aku bosan melihat wajahmu yang itu-itu saja setiap hari.'

Yah, tapi tetap saja sama.

Aku masih tidak bisa berbicara dengan bahasa manusia atau melayang dengan ajaib ke telinga penjual aneh itu. Disini aku menghabiskan waktu dengan menunggu, menunggu, mengobrol dengan donat lainnya dan melihat kendaraan berlalu lalang.

Kuharap penjual itu segera menyelesaikan tulisannya.

Kau tahu, aku hampir putus asa dan takut basi ditaruh di tempat pengap ini. Iya, pengap. Mana ada udara di dalam kotak kaca seperti ini.
Harusnya manusia lebih pintar dengan membuat ventilasi agar ada udara yang berputar dan donat sepertiku dapat bernafas.

Aku  juga sesak disini.
Terlebih aku hampir tuli karena donat lain terus bergosip dengan topik pembicaraan yang sama.
Tentang penjual aneh yang berandai bahwa dia seorang penulis. Yang melupakan kewajibannya untuk menjual kami dan malah menghabiskan waktu memainkan jarinya di atas benda aneh menyala yang terbuat dari plastik itu.

Dan oh, aku tiramisu. Yah, setidaknya aku berharap menjadi tiramisu.
Tapi lupakan, aku bosan berbicara karena penjual itu menyudahi permainannya dengan plastik berbentuk kotak itu.

Dia mulai menghampiri kami. Aku tegang.
Bukannya apa. Aku cuma capek melihat ekspresi anehnya setiap hari. Dan asal kau tahu, aku dan donat lainnya sering tertawa tanpa dia pernah menyadarinya.

Kami rasa itu lucu.
Karena manusia dengan wajah aneh itu tidak pernah bisa membuat ekspresi lain untuk menggambarkan perasaannya, sedangkan yang lain dapat membuat mimik lucu sesuai hatinya.

Dan lihat, ada segerombolan wanita yang datang. Seperti biasa, mereka mulai bertanya-tanya tentang kami. Paling banyak bertanya tentang rasa dan harga. Ya ampun, memangnya aku donat macam apa?
Mereka menanyakan harga seakan aku sangat murahan. Padahal aku tidak berdandan menor seperti para wanita yang justru terlihat lebih murahan dari donat lembut lucu sepertiku.

Tapi inilah aku. Satu donat diantara donat lainnya. Ditaruh berdesakan di dalam etalase kaca oleh penjual aneh yang seringnya tidak tahu malu. Masih menunggu seseorang untuk datang dan memilihku agar aku bisa menjauh dari tempat pengap dan wajah membosankan itu.


Dedicated to @theonugraha (#iHelp)

Monday, April 15, 2013

Kenapa Tidak


Kau tahu. Rasanya tidak perlu saling bertulis mengungapkan perasaan lewat sekumpulan alfabet yang diposting melalui internet. Seperti semua orang akan bisa membaca dan berpura merasakan apa yang kita rasakan.

Tapi sekali lagi aku butuh. Aku bukan tipe orang yang suka memendam sendiri dan menahan jari untuk tidak memencet tombol keyboard satu persatu dan membuat rangkaian kata. Aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah berbicara dan cerita tentang permasalahan yang sekarang terjadi. Lagipula kau ingat, disini aku tidak punya teman sama sekali.

Kurasa surat-surat ini terlalu berlebihan. Apalagi jika harus ditulis dengan perasaan yang merasa muak dan tertekan.

Hey, jika kau membaca ini, setidaknya kau harus tahu satu hal. Sayang yang dulu dirasa harusnya hilang, terlebih karena tidak mungkin mencintai seseorang yang tidak pernah bisa kau lihat, sentuh dan rasakan. Karena kita hidup di dunia nyata dengan masingnya.

Kenapa harus membuat bualan maya, jika kita bisa masing-masing membangun nyata?

Saturday, April 13, 2013

Lili Putih


Bunga lili putih seharga lima puluh ribu untuk wanita dengan paras secantik bidadari. Hadiah kecil yang tidak seberapa untuk pujaan hati. Tapi tetap berarti, karena tiga tangkai bunga yang hampir layu itu dibeli dengan hasil keringat sendiri.

Hari ini banyak yang terjadi demi lili putih untuk sang dambaan. Dimulai dari menyemir sepatu seorang supir truk pemabuk yang memberinya lima ribu dan banyak hujatan, diusir oleh pemilik warung makan secara tidak sopan, hingga diancam akan dipukuli jika ia datang lagi dan ketahuan.

Tiga tangkai cinta dengan pita merah muda.

Ia menggenggam bunga persembahan sembari membayangkan senyum dari wanita yang buatnya tergila. Dikantungnya ada cincin peninggalan ibu yang tersimpan dalam kotak kayu berukir akasia. Ada niat tulus dalam mata si pria.

Beratus langkah pasti menuju wanita yang bangganya ia puja. Tidak ada ragu malah menggebu hati yang sudah jatuh cinta dengan hanya satu senyuman saja.

Ada dua bibir yang berpagutan dengan mesranya.

Sungguh yang tadi menyeret tubuh mendadak runtuh. Pemandangan yang terbingkai mata dan terekam ingatan buat kokoh tekadnya rubuh. Tidak mungkin bisa pisahkan dua cinta yang menyatu karena angkuh.

- - -

Bunga lili putih seharga lima puluh ribu untuk wanita dengan paras secantik bidadari. Jatuh dekat kaki tanpa pernah ia sadari. ‘Tanpa kamu, aku mati’ tertulis di karton susu yang digunting menyerupai hati.

Disebelah kanannya melengking suara wanita berteriak meminta bantuan pejalan kaki. Ada korban jatuh akibat tabrak lari.

Ia terbaring ditengah jalan. Hari ini banyak yang terjadi demi lili putih untuk sang dambaan.
Dimulai dari menyemir sepatu seorang supir truk pemabuk yang memberinya lima ribu dan banyak hujatan, diusir oleh pemilik warung makan secara tidak sopan, diancam akan dipukuli jika ia datang lagi dan ketahuan, hingga menjadi korban tabrak lari tanpa diketahui bidadari pujaan.

Friday, April 12, 2013

Langkah


Ada yang hilang. Ada yang akhirnya pergi, meskipun semula dikata tak lekang. Ada yang beranjak dan terus maju, sedangkan disini masih terbelenggu dengan kekang. Kamu.

Jelaskan padaku. Apakah dengan memaki, semua luka ini akan mengering dan sembuh seperti tidak pernah disayat pergi? Apakah dengan memaki, hampa udara di balik rusuk yang ada semenjak kau melangkahkan kaki dapat terisi kembali?

Aku disini memadu kasih dengan luka dan masa lalu, semenjak pergimu. Membuat cinta segitiga antara bayangan dan kasih yang sebenarnya sudah lalu. Hanya untuk menutupi malu yang semakin besar seiring jauh langkahmu.

Dimana kau yang dulu berjanji untuk selamanya tak pergi? Kemana kau saat akhirnya aku menyadari bahwa sosokmu memang berisi arti? Kau lenyap. Kuharap kau masih ingin ditemukan.

Aku disini menunggu. Asal kau tahu.

Jengah


Jemarinya menari di atas meja. Mengetuk-ngetuk lapisan kaca paling atas, membuat melodi seadanya.

Entah sudah berapa jam ia duduk di sofa nyaman sebuah kafe pinggiran kota untuk menunggu sosok yang tidak kunjung datang. Matanya terus tertuju pada jendela kaca besar dengan pemandangan manusia berlalu-lalang. Dimana dia yang harusnya datang sejak petang?

Sepertinya ada yang salah

Kembali asap rokok dihembuskan. Tangan kirinya membuat gerakan sama seiring dengan bibir yang terus menghisap batang rokok kesekian. Sesekali ia melirik jam dinding yang dipajang di tengah ruangan. Pukul tujuh lewat delapan. Tapi tidak ada wajah familiar yang datang bersama kejutan.

Ruangan kafe mulai dipenuhi asap rokok yang memedihkan mata. Hal biasa untuk pengunjung kafe sederhana di tengah kota.

Kamu dimana?

Ceria yang semula terpajang mulai memudar. Was-was dan negatif dalam kepalanya berputar. Harusnya ia dan sosok yang ditunggu itu sudah membunuh malam dengan gurauan yang terus terlontar.

Ia mengadu ujung telepon genggamnya dengan meja kayu berlapis kaca. Menunggu balasan dari pesan singkat yang ia tidak tahu apakah sudah dibaca.

Sabarku mulai hilang

Bunyi ribut telepon genggam membangunkannya dari lamunan. Ada satu pesan masuk dari dia, sosok yang buatnya habiskan waktu bersama imaginasi dan Irish Cream dingin yang kini mencair dan menetes di atas rok kesayangan.

“Kamu dimana?” Pesan singkat berisi pertanyaan serupa dengan yang lama ia pikirkan. Otomatis buatnya mengerutkan dahi karena janggal yang ada dalam pertanyaan.

Menunggu disini, sedari tadi

“Kafe biasa di tengah kota.”

Jengah. Jawaban pesan pada telepon genggam buatnya menengadah. Ia mengutuk langit-langit reyot yang seakan mengejek gundah.

Aku lelah

Entah sudah berapa jam ia duduk di sofa nyaman sebuah kafe pinggiran kota untuk menunggu sosok yang tidak kunjung datang. Matanya terus tertuju pada jendela kaca besar dengan pemandangan manusia berlalu-lalang. Dimana dia yang harusnya datang sejak petang?